Khalifah
Khalifah (bahasa Arab: خَليفة; khalīfah) ada dua definisi yaitu gelar makhluk yang akan diciptakan Allah di bumi, yaitu Manusia, untuk menggantikan makhluk yang ada sebelumnya. Definisi kedua adalah gelar yang diberikan untuk penerus Nabi Muhammad dalam kepemimpinan umat Islam. Wilayah kewenangan khalifah disebut kekhalifahan atau Khilafah (bahasa Arab: خِلافة; khilāfah). Gelar lain yang juga melekat dengan khalifah adalah amīr al-mu'minīn (أمير المؤمنين) Amirul Mukminin atau "pemimpin orang-orang yang beriman yang telah dibaiat dengan hukum Kitabillah wa Sunnah", meski pada keberjalanannya, gelar ini juga disandang oleh pemimpin Muslim selain khalifah.
Sepanjang sejarahnya, peran khalifah dan bentuk kekhalifahan memiliki beragam corak yang sangat dipengaruhi keadaan politik dan keagamaan pada masa tersebut. Dilihat dari latar belakang khalifah, kekhalifahan dibagi ke dalam empat periode: Kekhalifahan Rasyidin (632–661), Kekhalifahan Umayyah (661–750), Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 dan 1261–1517), dan Kekhalifahan Utsmaniyah (1517–1924).
Kekhalifahan dimulai seiring dibaiatnya Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam tepat setelah meninggalnya Nabi Muhammad pada tahun 632. Abu Bakar dan tiga penerusnya, semuanya sahabat Nabi dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad, dikelompokkan sebagai Khulafaur Rasyidin atau Kekhalifahan Rasyidin. Pemilihan keempat khalifah pertama ini didasarkan melalui musyawarah dan kepantasan pribadi calon sehingga Kekhalifahan Rasyidin kerap dipandang sebagai bentuk awal demokrasi Islam.
Setelah perang saudara pertama di penghujung masa Kekhalifahan Rasyidin, Hasan bin 'Ali menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Mu'awiyah yang kemudian mengubah bentuk kekhalifahan menjadi monarki-dinasti, menandai dimulainya masa Kekhalifahan Umayyah. Berpusat di Damaskus, Bani Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama hampir seabad sebelum akhirnya digulingkan kelompok Abbasiyah yang mendirikan kekhalifahan-dinasti mereka sendiri mulai tahun 750. Berbeda dengan masa Khulafaur Rasyidin atau Umayyah, khalifah pada masa Abbasiyah tidak lagi memimpin secara langsung seluruh wilayah dunia Islam dan wilayah kekuasaannya hanya berkisar di kawasan Mesopotamia. Beberapa kepala negara Muslim (bergelar amir atau sultan) memimpin wilayah kekuasaan mereka secara mandiri tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan dan kepala negara Muslim yang lain memberikan ketundukkan mereka secara simbolis kepada khalifah. Berbeda dengan Umayyah yang sangat bercorak Arab, Abbasiyah yang berpusat di kawasan Mesopotamia memberikan corak Persia yang kental pada kekhalifahan.
Fungsi khalifah sebagai kepala negara lenyap seiring jatuhnya Baghdad oleh Mongol pada 1258. Keturunan Abbasiyah yang tersisa melanjutkan tampuk kekhalifahan di Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan Kesultanan Mamluk. Tanpa wilayah kekuasaan dan kekuatan politik yang memadai, khalifah hanya berperan sebagai pemersatu umat Islam secara simbolis sehingga khalifah pada periode ini dikenal sebagai "khalifah bayangan."
Setelah Kesultanan Mamluk ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmani pada 1517, pemimpin Utsmani mengambil gelar khalifah untuk mereka sendiri. Gelar khalifah terbatas hanya sebagai pemimpin simbolis dunia Islam setelah 1258 dan hal itu tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuasaan karena kedudukan mereka sebagai sultan dan padisyah (kaisar), bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, para penguasa Utsmani terbilang sangat jarang menggunakan gelar khalifah (pemimpin umat Islam) mereka dalam perpolitikan dalam dan luar negeri dan lebih sering menggunakan status mereka sebagai sultan dan padisyah (kepala negara Utsmani). Gelar khalifah mulai digunakan penguasa Utsmani pada saat Perjanjian Küçük Kaynarca, untuk menegaskan kedudukannya sebagai pelindung umat Islam di Rusia. Sultan Abdul Hamid II merupakan penguasa Utsmani yang paling sering menggunakan gelar khalifah dalam upayanya menggalang persatuan di dunia Islam untuk menghadapi imperialisme Barat.
Pada November 1922, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan Kesultanan Utsmani dan sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Meski begitu, Mustafa Kemal (Atatürk) belum berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan masyarakat, juga karena kekhalifahan adalah lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia, berbeda dengan Kesultanan Utsmani yang merupakan sebatas negara. Majelis Agung Nasional Turki kemudian mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdul Mejid II pada 19 November 1922. Abdul Mejid II merupakan satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan. Namun karena khawatir Abdul Mejid II akan menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk campur tangan dalam urusan dalam dan luar negeri Turki sebagaimana yang dilakukan para Sultan Utsmani terdahulu, Majelis Agung Nasional Turki akhirnya membubarkan kekhalifahan pada 3 Maret 1924, menjadikan Abdul Mejid II sebagai khalifah terakhir. Negara-negara Muslim mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki dan terdapat beberapa pertemuan para tokoh Muslim terkait keberlangsungan kekhalifahan, tetapi tidak ada kesepakatan bersama yang dapat dicapai.
Khalifah berbeda dengan sultan. Bila khalifah merupakan pemimpin seluruh umat Islam (baik secara hierarkis atau hanya sekadar simbolis), sultan merupakan kepala dari suatu negara Muslim tertentu dan bukan pemimpin umat Muslim secara keseluruhan. Kedua gelar ini kerap disamakan pada masa-masa sekarang, sangat mungkin lantaran penguasa Utsmani (negara adidaya Muslim terakhir pada milenium kedua) memegang kedua gelar ini secara bersamaan. Penguasa Utsmani merupakan seorang sultan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara Utsmaniyah dan sebagai khalifah dalam artian pemimpin simbolis seluruh umat Islam.
Etimologi
Kata "khalifah" (bahasa Arab: خَليفة; khalīfah) bermakna "penerus" atau "perwakilan." Dalam Al-Qur'an disebutkan,
Dalam konteks khusus, khalifah adalah pengganti atau penerus Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Kepemimpinan umat ini memiliki dimensi duniawi dan agama, sehingga pada dasarnya, khalifah adalah pemimpin dan pembimbing umat Islam dalam urusan administratif kenegaraan ataupun moral dan agama. Secara tradisi, khalifah sendiri merupakan kependekan dari Khalīfat Rasūl Allāh (penerus utusan Allah).
Khalifah juga dapat dimaknai sebagai kewenangan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mengelola alam untuk keperluan hidupnya. Kewenangan ini diberikan dengan adanya batasan atas tanggung-jawab yang baik dan tidak berlebihan. Bekal yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk memenuhi peran ini adalah akal. Keberadaan akal membuat manusia dapat melakukan pengamatan terhadap alam semesta. Dengan perannya ini, manusia diberi tanggung jawab untuk memakmurkan alam sehingga tercipta keseimbangan antara alam dan kehidupan manusia. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an pada Surah Luqman ayat 20. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah mengatur langit dan Bumi agar sesuai dengan kebutuhan hidup manusia secara sempurna. Ini dijadikan olehNya sebagai tanda-tanda kekuasaanNya. Sedangkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi ditetapkan oleh Allah pada Surah Hud ayat 61. Ayat ini juga mengaitkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi dan penciptaan manusia dari tanah.[1]
Khalifah utama
Khulafaur Rasyidin
Segera setelah Nabi Muhammad wafat pada 632, Abu Bakar dibaiat sebagai pemimpin umat Islam di Masjid Nabawi. Dikenal dengan sebutan Ash-Shiddiq (bahasa Arab: اَلـصِّـدِّيْـق, "Tepercaya"), Abu Bakar termasuk salah satu pemeluk Islam awal dan melalui putrinya, 'Aisyah, dia juga merupakan mertua Nabi. Masa kekuasaannya yang singkat dikerahkan untuk menumpas pemberontakan dari berbagai suku Arab yang merasa tidak punya tanggung jawab kesetiaan lagi pada pihak Madinah sepeninggal Nabi Muhammad.[2] Abu Bakar sangat menjaga agar kebijakan yang dia ambil tidak berbeda dengan Nabi Muhammad.
Setelah Abu Bakar wafat pada 634 dengan meninggalkan keadaan kekhalifahan yang mulai stabil, 'Umar bin Khattab dibaiat sebagai khalifah kedua. Sebagaimana Abu Bakar, 'Umar juga merupakan ayah mertua Nabi melalui Hafshah. Di masanya, 'Umar melakukan berbagai pembaharuan dan perluasan. Tapal batas kekhalifahan meluas keluar dari semenanjung Arabia, mengakhiri riwayat Kekaisaran Sasaniyah dan mengambil alih dua pertiga wilayah Kekaisaran Romawi Timur.[3] Segala capaiannya menjadikan 'Umar sebagai salah satu khalifah paling berpengaruh sepanjang sejarah.[4]
'Utsman bin 'Affan meneruskan tampuk kekhalifahan sepeninggal 'Umar dan berbeda dengan pendahulunya, 'Utsman lebih memberikan kekuasaan otonomi yang lebih longgar pada bawahannya. Hal ini menjadikan perluasan wilayah kekhalifahan dapat dilangsungkan secara lebih mandiri, sehingga dapat mencapai wilayah yang lebih jauh. Pada masanya, kekhalifahan sudah mencapai sebagian wilayah Khorasan Raya (kawasan Asia Tengah) di batas timur.[5] Di masanya, masyarakat menjadi lebih makmur dalam masalah ekonomi dan menikmati kebebasan yang lebih besar di bidang politik. Namun 'Utsman juga dikritik karena lebih mendahulukan keluarga besarnya untuk mengisi berbagai kedudukan penting, menjadikan munculnya gelombang demonstrasi besar-besaran yang berujung pada pengepungan rumahnya pada tahun 656. 'Utsman yang tidak ingin menjadi penyebab perang saudara menolak bantuan militer dari kerabat dan pihak lain, menjadikannya terbunuh di akhir pengepungan.[6]
'Ali mewarisi kedudukan khalifah setelahnya. Masa kekuasaannya merupakan salah satu masa-masa tersulit dalam sejarah Islam lantaran pada saat inilah terjadi perang saudara Islam pertama yang berawal dari terbunuhnya 'Utsman. 'Ali dibunuh kelompok Khawarij[7][8][9] dan putranya, Hasan, diangkat menjadi khalifah berikutnya pada 661. Namun beberapa bulan setelahnya, Hasan menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada Mu'awiyah[10][11] demi menghindari perang saudara lebih lanjut.[12]
Di wilayah yang dulu dikuasai Kekaisaran Sasaniyah dan Romawi, khalifah menurunkan pajak dan memberikan kelonggaran otonomi melalui gubernur pilihan mereka. Berkebalikan dengan Romawi, khalifah memberikan kebebasan beragama yang lebih luas dan memberikan masyarakat non-Muslim hak otonomi untuk mengatur urusan mereka sendiri. Segala kebijakan ini mengangkat moral dan kepercayaan masyarakat yang selama ini terbebani dengan pajak tinggi dan segala kekacauan yang diakibatkan Perang Romawi-Persia yang berturut-turut.[13]
Kerap dipandang sebagai bentuk ideal kekhalifahan oleh banyak umat Islam, khalifah pada masa ini memegang peran sebagai pemimpin umat Islam dalam urusan dunia dan agama. Tidak hanya dalam urusan kenegaraan, para khalifah juga merupakan pengambil keputusan dalam berbagai urusan yang berkaitan dengan ibadah. Kekhalifahan sendiri cenderung berwujud negara kesatuan pada masa ini dan para gubernur secara hierarkis berada di bawah khalifah.
Wangsa Umayyah
Setelah Hasan bin 'Ali turun takhta pada 661, Mu'awiyah berkuasa sebagai khalifah. Penetapan putranya sebagai putra mahkota membuat bentuk kekhalifahan berubah menjadi monarki dinasti yang kedudukan kepala negaranya diwariskan hanya di antara keluarga besar penguasa sebelumnya, dan dari sinilah Wangsa Umayyah lahir.[14] Secara silsilah, khalifah dari Wangsa Umayyah terbagi menjadi dua:
- Kelompok Sufyani, yakni yang merupakan keturunan dari Abu Sufyan bin Harb. Ada tiga orang khalifah yang berasal dari garis Sufyani.
- Kelompok Marwani, merujuk kepada Marwan bin al-Hakam dan keturunannya. Ada sebelas orang khalifah yang berasal dari garis Marwani.
Abu Sufyan dan Al-Hakam (ayah Marwan) adalah cucu dari Umayyah bin 'Abd asy-Syams dan dari sini nama Bani Umayyah ditetapkan.
Wangsa Umayyah melanjutkan perluasan wilayah kekhalifahan, meliputi kawasan Transoxiana, Sindh, Arab Maghrib, dan Al-Andalusia, menjadikan kekhalifahan saat itu sebagai salah satu kekaisaran terbesar di dunia yang pernah ada, baik dari segi luas wilayah maupun populasi, dengan luas mencakup 11,100,000 km2 dengan penduduk sekitar 33 juta jiwa.[15]
Pada masa Umayyah, bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi dari kekhalifahan yang terdiri dari penduduk multi-etnis tersebut. Perpindahan agama besar-besaran menjadi mualaf juga terjadi pada masa Umayyah. Pembangunan banyak bangunan Muslim bersejarah juga dibangun pada masa ini, seperti Kubah Shakhrah di kompleks Masjid Al Aqsha dan Masjid Agung Umayyah.[16] Umayyah juga memberikan kebebasan beragama pada umat non-Muslim dan meskipun mereka tidak bisa menempati hierarki teratas lembaga-lembaga penting, banyak yang menjadi pejabat tinggi di pemerintahan, menjadikan sebagian kalangan Muslim menilai bahwa Wangsa Umayyah terlalu sekuler.[17] Umayyah juga mampu menyerap dan menghidupkan berbagai kebudayaan asli dari bangsa-bangsa yang telah tergabung dalam naungan kekhalifahan, salah satunya tercermin dari arsitektur.[18] Masjid Agung Umayyah sebelumnya merupakan katedral Kristen yang dipersembahkan untuk Yohanes Pembaptis (Yahya dalam Islam) yang awalnya merupakan kuil Romawi untuk pemujaan Dewa Yupiter.[19][20]
Terlepas dari segala capaiannya, Umayyah dikritik karena sangat menganakemaskan Muslim Arab dibandingkan Muslim dari etnis lain yang jumlahnya semakin besar. Pembunuhan Husain dalam Pertempuran Karbala pada 680 oleh pihak Umayyah menjadikan perpecahan antara Sunni dan Syiah semakin nyata.[21] Perang saudara juga melanda kekhalifahan mulai tahun 744, menjadikan kendali Wangsa Umayyah atas negara melemah. Gelombang non-Arab yang menjadi mualaf juga mengubah keadaan dalam negeri kekhalifahan karena banyak dari mereka yang lebih terdidik dari bangsa Arab sendiri, sehingga mengubah keadaan politik dalam kekhalifahan.[22] Pada akhirnya, pendukung Bani Hasyim dan garis keturunan 'Ali berhasil meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada 750. Banyak anggota Wangsa Umayyah yang dibunuh setelahnya, di antaranya adalah Marwan bin Muhammad yang merupakan khalifah terakhir dari Wangsa Umayyah di Syam. Di antara anggota Wangsa Umayyah yang selamat adalah 'Abdurrahman ad-Dakhil yang mengungsi ke Al-Andalus dan berkuasa di sana.
Pada masa Umayyah, dimensi keagamaan dalam gelar khalifah memudar seiring menurunnya akhlak dan keagamaan dari sebagian khalifah. Ibnu Katsir menyebutkan kepribadian Khalifah Yazid yang suka mabuk-mabukan.[23] Dari semua khalifah dari Wangsa Umayyah, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dikenal yang paling saleh dan kerap dipandang sebagai khulafaur rasyidin kelima. Meski begitu, peran khalifah sebagai kepala negara dari seluruh dunia Islam masih terjaga.
Wangsa Abbasyiah
Wangsa Abbasiyah memegang tampuk kekhalifahan setelah kekuasaan Umayyah di Syam runtuh pada 750. Keluarga besar ini merupakan keturunan dari 'Abbas bin 'Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad. Berpusat di kawasan Mesopotamia, Abbasiyah mengadopsi secara besar-besaran kebudayaan Persia ke dalam tubuh kekhalifahan.[24]
Pada keberjalanannya, wilayah kekuasaan khalifah pada masa Abbasiyah perlahan semakin menyusut hingga hanya di sekitar Mesopotamia. Banyak pihak mendirikan dinasti mereka sendiri dan menguasai suatu bagian dari dunia Islam seperti Wangsa Idrisiyyah yang menguasai Maroko, Aghlabiyyah yang memerintah di Ifriqiya, Dinasti Thuluniyah di Mesir dan Palestina, Bani Buwaih di Iran, Dinasti Samaniyah di Transoxiana, dan Seljuk yang menguasai wilayah yang sangat luas di kawasan Timur Tengah, Kaukasus, dan Asia Tengah. Sebagian dari penguasa dinasti ini menggunakan gelar amir atau bahkan syahansyah (raja diraja), gelar penguasa Persia pra-Islam. Pada masa ini mulai muncul gelar sultan yang mulai digunakan untuk kepala negara Muslim dan mulai menggeser penggunaan gelar amir. Meski banyak dari dinasti baru ini menguasai wilayah yang jauh lebih luas dari khalifah sendiri dan memerintah secara mandiri tanpa campur tangan khalifah, tetapi para amir dan sultan ini tetap mengakui kedaulatan khalifah atas mereka secara simbolis dan khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan.
Wangsa FatimiyahSunting
Wilayah kekuasaan Fatimiyah
Wangsa Fatimiyah adalah dinasti beraliran Syi'ah Ismailiyah yang menyatakan diri sebagai keturunan putri bungsu Nabi Muhammad, Fatimah az-Zahra. Mereka mengklaim gelar khalifah mulai tahun 909 dan menjadi khalifah pesaing dari Wangsa Abbasiyah yang bertakhta di Mesopotamia. Pada masa puncaknya, Fatimiyah menguasai kawasan Afrika Utara, Sisilia, Syam, dan Hijaz. Fatimiyah awalnya berkuasa di kawasan Tunisia dan kemudian memindahkan ibu kotanya di Kairo setelah Mesir ditaklukkan pada 969.[43]
Fatimiyah membentuk tentara berlandas etnis yang terbukti membawa keberhasilan di medan perang, tetapi tidak dalam ranah politik dalam negeri. Perselisihan antar kelompok militer menjadikan kekuasaan dinasti ini merosot dengan cepat pada akhir abad kesebelas dan abad kedua belas. Shalahuddin mengakhiri kekuasaan dinasti ini pada 1171, mendirikan dinasti Al-Ayyubi yang menyatakan kesetiaan pada Wangsa Abbasiyah.[44] Terdapat empat belas khalifah dari Wangsa Fatimiyah dan mereka berkuasa dalam rentang waktu lebih dari dua setengah abad.
Khalifah di KordobaSunting
Wilayah kekuasaan Umayyah di Kordoba, sekitar tahun 1000
Semenanjung Iberia, juga dikenal dengan Al-Andalusia, telah menjadi bagian dari kekhalifahan pada masa Umayyah. Setelah kekuasaan Umayyah di Syam runtuh pada 750, 'Abdurrahman ad-Dakhil pergi ke semenanjung Iberia dan menjadi penguasa di sana setelah menggulingkan penguasa sebelumnya, memerintah kawasan Iberia dari kota Kordoba. Meski moyangnya telah menyandang gelar khalifah selama hampir seabad saat berkuasa di Syam, anggota Wangsa Umayyah yang berkuasa di Iberia awalnya hanya menyandang gelar "amir" (setara dengan 'adipati') dan mengakui klaim pihak Abbasiyah sebagai pemimpin seluruh umat Islam,[45] meski perselisihan di antara kedua belah pihak masih berlanjut.
Namun setelah Fatimiyah yang mengklaim gelar khalifah mulai mengancam kekuasaan Umayyah di Al-Andalus, keturunan 'Abdurrahman ad-Dakhil, 'Abdurrahman III, menyatakan dirinya sebagai khalifah pada 16 Januari 929.[46] Hal ini menjadikan terdapat tiga pihak yang mengklaim gelar khalifah: Abbasiyah di Baghdad, Fatimiyah yang berpusat di Mesir, dan penguasa di Kordoba. Tak hanya dalam masalah kekuasaan, Kordoba juga menjadi pesaing Baghdad terkait perannya sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya.[47][48] Pada masa Al-Hakam II, perpustakaan istana memiliki 500.000 volume buku. Sebagai perbandingan, Biara Santo Gallen di Swiss hanya memiliki 100 volume.[49] Universitas di Kordoba juga menjadi yang paling terkenal di dunia kala itu, didatangi murid Muslim ataupun Kristen dari segala penjuru Eropa Barat. Universitas ini melahirkan seratus lima puluh penulis. Universitas dan perpustakaan lain juga tersebar di kawasan Iberia pada masa ini.[50]
Pada keberjalanannya, kekuasaan Wangsa Umayyah di Andalusia semakin melemah, menjadikan Wangsa Hammud, sebuah dinasti Muslim Arab-Berber, mampu merebut tampuk kekhalifahan selama beberapa waktu.[49] Umayyah dapat mengambil kembali status khalifah, tetapi negara tersebut sudah sangat melemah dengan beberapa wilayah telah lepas dari kendali khalifah. Penggulingan Hisyam III pada 1031 menjadi akhir dari riwayat khalifah di Kordoba. Setelahnya, wilayah yang dulu dikuasai khalifah terpecah menjadi negara-negara kecil yang disebut taifa.[51] Meski khalifah di Kordoba hanya bertahan selama sekitar satu abad, kekuasaan umat Muslim di Andalusia masih berlanjut sampai Wangsa Nasrid penguasa Granada dikalahkan pihak Katolik Spanyol pada 1492.
Kekhalifahan Syarif (1924)Sunting
Artikel utama: Kekhalifahan Syarif
Peta dengan wilayah kekhalifahan berwarna hijau dan wilayah hijaz saat ini berwarna merah.
Upaya terakhir untuk mengembalikan kekhalifahan dengan pengakuan ekumenis dilakukan oleh Syarif Husain, raja Hijaz dan Syarif Mekkah, yang memimpin pada 11 Maret 1924 sampai 3 Oktober 1924, ketika ia meninggal dan tahta tersebut turun kepada anaknya Ali bin Husain, tetapi anaknya tidak ingin menerapkan kekhalifahan.[52]
Keruntuhan kekhalifahanSunting
Setelah Abdul Hamid II digulingkan pada 1909, dua sultan penerusnya hampir kehilangan kekuatan politik sepenuhnya dan hanya berperan sebagai lambang kepala negara semata tanpa kekuasaan yang nyata. Kesultanan Utsmaniyah kehilangan sebagian besar wilayahnya setelah kalah dalam Perang Dunia I, menjadikan hanya menguasai kawasan Anatolia dan ujung tenggara Balkan. Istanbul (Konstantinopel) dikuasai Britania Raya setelahnya, menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor pemerintahan dengan paksa.
Kekalahan Utsmani menimbulkan reaksi yang disebut Gerakan Khilafat sebagai bentuk kekhawatiran akan kesatuan umat Islam. Meski gerakan ini didengungkan di berbagai belahan dunia Islam, kegiatannya paling banyak dilangsungkan di India sehingga juga disebut Gerakan Muslim India. Sebagai pemenang perang, pihak Eropa menjanjikan untuk melindungi status penguasa Utsmani sebagai khalifah, tetapi Perjanjian Sèvres yang ditandatangani pada 1920 menjadikan kawasan Iraq, Syam, dan Mesir diserahkan pada negara-negara Eropa.
Pada 1 November 1922, Majelis Agung Nasional Turki secara resmi membubarkan Kesultanan Utsmani. Sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Setelah pembubaran Utsmani, Republik Turki yang berasaskan sekuler didirikan dengan Mustafa Kemal sebagai presiden pertamanya.
Abdul Mejid II, khalifah terakhir
Meski demikian, Mustafa Kemal tidak berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan rakyat. Meski sudah kehilangan peran politiknya sejak lama, khalifah tetap dipandang sebagai lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia. Pembubaran kesultanan juga lebih mudah lantaran keberlangsungan kekhalifahan saat itu menyenangkan para pendukung kesultanan. Pada 17 November 1922, Majelis Agung Nasional Turki mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdul Mejid II. Hal ini menjadikan Abdul Mejid II sebagai satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan.
Hal tersebut menjadikan keadaan di Turki terbelah dengan pemerintahan republik yang baru di satu sisi dan pemerintahan Islam yang dikepalai khalifah di sisi lain. Khalifah memiliki perbendaharaan pribadi dan pelayanan pribadi, termasuk personel militer. Abdul Mejid II juga menerima duta asing, juga turut serta dalam upacara dan perayaan resmi.[53] Mustafa Kemal mengkhawatirkan bahwa Abdul Mejid II nantinya akan memegang kendali urusan negara selayaknya seorang sultan.[54]
Dalam keadaan seperti ini, Maulana Mohammad Ali dan Maulana Syaukat Ali yang merupakan pemimpin Gerakan Khilafat menyebarkan pamflet yang menyerukan rakyat Turki untuk mendukung kekhalifahan demi kepentingan Islam. Oleh pihak republik, hal ini dipandang sebagai campur tangan pihak asing yang dapat membahayakan keamanan negara. Hal ini menjadi pembenaran Mustafa Kemal untuk mengakhiri kekhalifahan. Pada 3 Maret 1924, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan kekhalifahan dan mengasingkan Abdul Mejid II beserta para pangeran dan putri Wangsa Utsmaniyah dari Republik Turki.[55][56]
Pasca pembubaran kekhalifahanSunting
Banyak pihak mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki secara sepihak.[57] Syarif Makkah, Husain bin Ali, mengklaim gelar khalifah untuk dirinya sendiri. Mantan Sultan Mehmed VI memberi dukungan melalui telegram kepada Husain,[58] tetapi pengakuannya tidak diterima oleh semua umat Muslim. Setelah Husain turun takhta, putranya tidak melanjutkan klaim ayahnya sebagai khalifah.[59]
Pada Mei 1926, diselenggarakan pertemuan di Kairo terkait upaya untuk kembali menegakkan kekhalifahan, tetapi banyak negara Muslim yang tidak hadir dan tidak ada tindakan nyata setelah pertemuan tersebut.[57] Dua konferensi Islam juga diselenggarakan di Makkah (1926) dan Yerusalem (1927), tetapi tidak mencapai kesepakatan.[57]
Pada perkembangan selanjutnya, gelar Amir al-Mukmin disandang oleh Raja Maroko dan Mullah Mohammed Omar, pemimpin rezim Taliban di Afganistan, tetapi kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Saat ini banyak pecahan negara-negara muslim yang membentuk Organisasi Konferensi Islam atau OKI, sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim.
Peran dan kedudukan khalifahSunting
Kekhalifahan Islam, 622-750
Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah mengenai pihak yang paling berhak menggantikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam dan batasan kekuasaan yang dimilikinya.
Pengganti Nabi MuhammadSunting
Fred M. Donner dalam bukunya The Early Islamic Conquests (1981) berpendapat bahwa kebiasaan bangsa Arab ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (bani dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam syuro atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki keterkaitan silsilah dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
Hingga pada tiba saatnya Nabi Muhammad meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan umat Islam hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim. Namun dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum Muslim yang hadir dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah penerus kepemimpinan umat Islam karena sebelum Nabi Muhammad meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi sebagai imam shalat. Pada akhirnya, Abu Bakar pun terpilih menjadi khalifah pertama dalam sejarah Islam.
Namun beberapa kalangan dari kaum Muslim Makkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa Nabi Muhammad telah memberikan banyak tanda yang menunjukan bahwa Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantunya, sebagai pengganti dirinya dan semua khalifah yang diangkat sebelum 'Ali dipandang sebagai khalifah yang tidak sah. Hal inilah yang memicu munculnya kaum Syiah belakangan pada masa kekhalifahan Muawiyah, lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir.
Kekuasaan
"Siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat Islam saat itu; tetapi juga menetapkan seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi. Berbeda dengan Nabi Muhammad, tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi Al-Quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadits dan kekuasaannya pun dibatasi keduanya.
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam Al-Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.[butuh rujukan] Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama.[butuh rujukan] Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan pandangan yang berlebihan kepada para imam, tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua ilmuwan setuju akan hal ini.
Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat khalifah pertama sebagai Khulafaur Rasyidin, Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan syariat.
Karakter kepemimpinan
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadis yang berbunyi:
"It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well."
Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu di mana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.[60]
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah pada hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.
Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia."
Landasan agama
Al-Qur'an
Hadits
Nabi Muhammad bersabda,
"Bani Israil, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya". Para sahabat bertanya; "Apa yang Anda perintahkan kepada kami?". Nabi Muhammad menjawab: "Penuihilah baiat kepada khalifah yang pertama (lebih dahulu diangkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang kepemimpinan mereka". (H.R. Bukhari) [61]
"Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya ." (H.R. Muslim) [62]
"Kekhalifahan di ummatku selama tiga puluh tahun kemudian setelah itu kerajaan." (H.R. Tirmidzi) [63][64]
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yg Allah kehendaki Allah mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg sangat kuat selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan [kejam] selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (H.R. Ahmad) [65][66]
Ijma’ Sahabat
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan dan pembaiatan pemimpin tampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi Muhammad dan mendahulukan pengangkatan dan pembaiatan seorang pemimpin. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Muhammad ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat dan membaiat Khalifah daripada menguburkan jenazah Muhammad. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat dan pembaiatan Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Muhammad sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat dan membaiat pemimpin daripada menguburkan jenazah.
Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menyampaikan bahwa dia tidak mau dipanggil sebagai khalifatullah dan lebih memilih jika dipanggil sebagai khalifatur-rasul.[67][68]
Ada satu riwayat dari Umar bin Khattab pernah menanyakan kepada Salman, “Saya ini seorang Raja atau Khalifah?” Salman manjawab, “Jika engkau mengambil (hasil) dari bumi kaum Muslimin satu dirham atau lebih, lalu engkau pergunakan tidak pada tempatnya (berbuat zalim), maka sesungguhnya engkau adalah raja bukan Khalifah”. Mendengar jawaban itu Umar bin Khattab menangis.[68]
Dalil Dari Kaidah Syar’iyah
Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya."[69] Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam.
Pendapat Para Ulama
Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyatakan,
Imam Asy-Syaukani menuliskan,
Ibnu Hazm mengatakan,
Beberapa tulisan ulama yang menilai wajibnya keberadaan khilafah di antaranya Imam Al Mawardi dalam Al Ahkamush Shulthaniyah, hlm. 5; Abu Ya’la Al Farraa’ dalam Al Ahkamush Shulthaniyah, hlm.19; Ibnu Taimiyah dalam As Siyasah Asy Syar’iyah, hlm.161; Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa, jilid 28, hlm. 62; Imam Al Ghazali dalam Al Iqtishaad fil I’tiqad, hlm. 97; Ibnu Khaldun dalam Al Muqaddimah, hlm. 167; Imam Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi, juz 1, hlm.264; Ibnu Hajar Al Haitsami dalam Ash Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 17; Ibnu Hajar A1 Asqallany dalam Fathul Bari, juz 13, hlm. 176; Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim, juz 12, hlm. 205; Dr. Dhiya’uddin Ar Rais dalam Al Islam Wal Khilafah, hlm.99; Abdurrahman Abdul Khaliq dalam Asy Syura, hlm.26; Abdul Qadir Audah dalam Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hlm. 124; Dr. Mahmud Al Khalidi dalam Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hlm. 248; dan Sulaiman Ad Diji dalam Al Imamah Al ‘Uzhma, hlm. 75; Muhammad Abduh dalam Al Islam Wan Nashraniyah, hlm. 61.
Sedangkan beberapa karya ulama dan tokoh Islam yang menyatakan ketidakwajiban khalifah di antaranya adalah Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, dan Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholish Madjid.
0 komentar:
Posting Komentar